Hari ini aku bener-bener
bingung musti ngelakuin apa. Semua yang kulakukan seolah-olah selalu salah. Apa
ini Cuma perasaanku atau memang kenyataannya, aku nggak tau. Yang pasti aku
merasa terkekang dengan keadaan ini. Aku ingin bebas. Aku ingin seperti
teman-teman ku, ngerasain indahnya pacaran, berpanampilan mengikuti model yang
sedang berkembang. Aku capek harus memakai jilbab yang dalam, makai rok kemana
dan nggak lupa juga pake kaos kaki.
Aku
bosan. Hidupku selalu menoton. Jadi akhwat itu membosankan. Nggak ada hiburan,
nggak ada yang bisa ku banggakan, yang bisa ku bagi cerita ama temen- temen.
Sedangkan mereka slalu bercerita betapa mengasyikkan malam minggunya bersama
pasangan, model-model baju yang baru keluar, model rambut yang lage nge-trend
ataupun sinetron-sinetron yang lage seru-serunya.
Di
keseharianku, aku hanya menemui Al-qur’an yang setiap harinmya menuntut untuk
dibaca, hadist-hadist yang minta dipelajari, atau kitab-kitab lainnya yang
nggak mau ketimnggalan untuk minta dipahami. Aku jenuh. Aku ingin berontak. Aku
ingin menghabiskan waktu bersama temen-temanku. Aku pengen ikut mereka,
ngontrak barenk, hidup sesuka hati dan mengikuti semua yang lage nge-trend.
Namun
kenapa hati ini seolah terikat dengan tempat itu. Tempat yang udah aku anggap
seperti neraka. Hati ini meminta aku untuk bertahan yang melanjutkan kegiatanku
yang telah aku ikuti selama ini. Tapi pikiranku udah nggak bisa untuk tetap
disana. Rasanya terlalu sumpek untuk tetap bertahan.
Peperangan
ini terus terjadi dalam diriku. Setiap saat dan setiap waktu. Aku ingin
mengakhiri semua ini. Namun bagemana caranya? Ama siapa aku harus mengadu?
“Hei,
lage ngapain fan ?”
Kehadiran
temanku menghentikan perang bathin yang lage berlangsung untuk sesaat. Aku
menyebutnya perang bathin, karena aku nggak tahu kata apa yang tepat aku pakai
untuk menyebut kondisi yang ada dalam diriku saat ini.
“Hei,
kamu Yun. Nggak lage ngapa-ngapain nih. Cuma lage suntuk aja.”
“emang
kamu nggak ada kuliah hari ini?”
“Ada sih, tapi lage malas
masuk. Kamu gimana? Kok bisa disini ? nggak ada kuliah?
“Tunben
ustadzah malas kuliah, ha…ha…ha….” Temanku emang selalu suka ngeledekin aku
dengan sebutan “ustadzah”. Padahal diriku sendiri, jauh dari sebutan itu.
“Lage
nggak ada mood buat kuliah.”
“Ada masalah?”
“Nggak
ko.”
“tapi
nggak biasanya juga lho kamu begini. Cerita donk! Kamu lage jatuh cinta ya?”
lage-lage temanku yang satu ini ngeledekin aku. Mentang-mentang dia tahu kalo
aku emang nggak punya pacar.
“Aku
bosan tinggal disana.”
“Kenapa?
Kamu ada masalah? Atau jangan-jangan kamu kena tegur lage ya, gara-gara
penampilan kamu?”
“Nggak
tuh. Penampilnku oke-oke aja.”
“terus
kenapa?”
“Aku
pengen bebas kayak kalian. Aku juga pengen pacaran. Cariin aku cowo’ donk?”
“ha…ha…ha…”
“iihhh
aku serius nih.”
“Kesambet
dimana?”
“Teserah
kamu deh mau bilang apa.”
Tiitt….titttt…tittt….
Deringan
nada handphoneku memutuskan pembicaraan kami. Bergegas kuambil handphone yang
biasa kusimpan di tas yang setia menemani setiap langkahku.
Hallo…Wa’alaikum
salam.. ya….iya….aku lagi di campus…..iya…mungkin sore…masih ada kuliah satu
lage….iya….wa’alaikum salam.
“Dari
siapa Fan? ngapain?”
“Biasa
lah, nanyain aku pulang jam berapa.”
“Maklum
kok, anak kecil. Kemana-mana harus melapor. Pergi kemana, bersama siapa, dan
pulang jam berapa.takut hilang.
Ha…..ha….ha….” lage-lage Yuni ngeledekin aku. Aku bener-bener malu
dengan situasi ini. Aku selalu diperlakukan seperti anak kecil.
“Nggak
tahu ya kalo aku masih kecil? Masih 15 tahun lho.”
“Ha…ha…ha….sok
imut deh.”
“Duuh..udah
jam berapa nih” aku menengok jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku
“aku harus pergi nih,” aku berlari meninggalkan Yuni yang terbengong sendiri
karena ku tinggal gitu aja.
*
* *
Pagi
ini, males banget rasanya untuk bangun. Badanku pegel semua, kepalaku rasanya
berat. Padahal pagi ini aku ada kuliah pukul 07.00. Dengan setengah malas
kucoba bangkit dari tidurku, tapi ya ampun, aku nggak bisa buat bangun. Rasanya
terlalu berat kepalaku untuk diangkat. Berulang kali kucoba, tapi tetap aja aku
nggak bisa. Semua badanku rasanya sakit, kepalaku pusing, rasanya aku nggak
kuat untuk bangun. Akhirnya kuputuskan aja buat tidur lagi. Namun bukan berarti
aku bisa memejamkan mataku lage lho.tapi aku hanya berbaring. Ya, aku
memutuskan untuk nggak masuk kuliah pagi ini dan beristirahat aja dirumah untuk
mempersiapkan fisikku juga buat kuliah nanti siang.
Nggak
masuk kuliah entar siang sama aja bunuh diri karena nggak ngikutin ujian tengah
semester dasar-dasar manajemen. Apalage mengingat semester pertama nih
berpengaruh terhadap perkembangan di semester berikutnya. Tapi apa mungkin aku
bisa kuat kalo nggak ada nutrisi yang masuk ketubuhku? Tapi aku juga nggak kuat
buat masak. Beli nasi pun, aku juga nggak
ada uang. Di dompetku Cuma ada tiga ribu rupiah. Mau beli apa coba pake
uang tiga ribu rupiah dikota ini? Udah gitu, gimana juga aku mau belanja, kalo
buat berdiri, apalage berjalan aja aku nggak sanggup? Terpaksa deh pagi ini, ku
tahan dulu lapar .
Deringan
nada handphoneku menyadarkan ku dari lamunan. Berusaha kugapai handphone yang
kuletakkan agak terjarak dari tempat ku tidur. Langsung kubuka sms yang masuk.
Assalamu’alaikum akhwat
Kok nggak masuk
kuliahnya?
Ternyata
sms dari teman satu yayasanku. Dia memang belom aku kasih tau tentang
keadaanku. Aku masih merasa malas untuk memberi tahu ama teman-temanku. Aku
ingin memendam penderitaanku hari ini sendirian. Tapi ternyata masih ada teman
yang peduli ama aku dan pengen tahu keadaanku. Ternyata aku salah mengartikan
kehidupan yang aku jalani. Aku merasa nggak punya teman lagi setelah aku pisah
ama teman-teman SMA ku dulu. Bagiku mereka sahabat terbaik yang pernah kutemui.
Tiada mereka, aku merasa juga nggak ka nada lage teman-teman yang peduli ama aku.
Tapi
ternyata pandangan aku tuh, Cuma sebuah kekeliruan yang ada dalam keyakinanku.
Tapi aku masih menafikkan kalau Allah nggak kan menyia-nyiakan hambanya. Apa lage semenjak aku kehilangan sesosok
laki-laki yang aku yakini sebagai motivatorku, orang yang membawa perubahan
dalam hidupku. Orang yang membuatku selalu bersemangat menjalani hari-hariku.
Ya, orang menyebutnya kekasih. Tapi aku nggak tahu kata apa yang tepat untuknya
menyebutnya.
Orang-orang
sering bertanya jika ada yang pacaran “kapan jadian”. Sedangkan aku ama dia
nggak pernah jadian lage setelah kami putus dua tahun yang lalu. Tapi kami
masih menjalani hubungan selayaknya sepasang kekasih hingga beberapa minggu
yang lewat. Namun kini dia udah memutuskan hubunngan itu setelah dia berada di Bekasi.
Aku bener-bener ngerasa kalo aku aku tuh sendiri. Nggak ada lage yang sayang
ama aku, dan nggak ada lage yang peduli ama aku.
Tuhan itu nggak adil. Selama
ini aku udah ngelakuin apa aja buat laki-laki itu, tapi dia mutusin aku gitu
aja. Tanpa dia peduli gimana perasaan aku. Perasaan itu juga yang membuat aku
menafikkan kenyataan yang kutemui. Kenyataan
bahwa Allah SWT nggak pernah menyia-nyiakan hambanya.
Tapi aku menerima kalo masih
ada teman yang peduli ama aku. Apa lage setelah azan zuhur, Yuni datang bersama
temanku yang lain melihat keadaanku dan membawakanku roti bakar. Karena mungkin
mereka tahu kalo aku belum makan.
“Sakit apa lu, Fan?” sapaan
yang biasa ku pake bersama teman-temanku yang nih. Karena emang beginilah aku.
Panggilan akhwat hanya ku pake buat berinteraksi ama teman-teman yang satu
yayasan atau sama teman-teman di wisma.
“Nggak tahu nih. Tadi pagi
bangun tidur, kepala gua rasanya udah pusing banget. Perut juga sakit nih.”
“udah makan lu? Nih Salsa
beliin lu roti baker.”
“Tahu aja sih lu, kalo gue
belom makan.”
“makanya dihabisan ya.”
“Kalo soal makanan, tenang
aja ntar pasti gue habisan kok, apalage laper gini, kucual bungkusnya aja sih
gue tinggalin buat lu.”
“ohh makasih. Baek banget
sih lu, tapi mending lu aja deh yang ngabisin beserta bungkusnya. Ha….ha….ha…”
“Sialan. Lu pikir gue apaan?
Pemangsa kertas gitu? Mentang-mentang gue lage laper deh.”
“Gitu donk, akui aja diri
tuh. Nggak usah sok jaim deh, lu kan
mang suka kertas bekas pembungkus. Ha….ha…..ha….”
“Mending lu pada pergi
kuliah deh. Gue mau tidur dan makan dulu.”
“Mentang lu udah dapat
makanan ya.”
“Iya donk. Itu penrting!
Kita-kita juga nggak mau tuh lama-lama disini. Basan kale liatin lu.”
“dari tadi donk lu pergi,
gue juga bosan liatin lu.”
“dagh.” Begitulah kelakaranku
ama teman-temanku yang ini.
Satu lage bukti yang menunjukkan kalo Allah
nggak kan
menyia-nyiakan hambanya. Namun ke angkuhanku kembali menafikkan hal itu.
Kehadiran teman-temanku sebagai bukti kesetia kawanan mereka kepada ku. Dan
nggak kan percaya kalo Allah nggak kan menyia-nyiakan
hambanya. Buktinya Allah memberikan aku penyakit ini, dan udah kewajiban Tuhan
donkuntuk mengirimkan orang-orang yang bisa membantuku. Ya, aku emang terlalu
angkuh. Angkuh untuk mengakui sebuah kebenaran yang udah ku temui. Tapi
keangkuhanku selalu membuatku menafikkannya.
*
* *
Setelah ujian tengah
semester yang nggak bisa aku ikuti siang ini, aku kembali tertidur dan
terbangun setelah jam menunjukkan pukul 17.30. namun kumerasa tenaga ku udah
mulai pulih. Mungkin karma udah adanya penambahan nutrisi lewat roti bakar yang
aku makan siang tadi. Pemberian dari teman-temanku ternyata menjadi obat yang
manjur bagiku. Hanya dengan makana yang mereka berikan, kesehatan dan tenagaku
bisa pulih kembali, meskipun belum sepenuhnya.
Aku beruntumg bisa menemukan
mereka, mendapatkan teman yang perhatian. Kembali aku merasa hal yang aku
jalani sekarang sebuah keberuntungan semata atau kadang aku menyebutnya sebuah
kebetulan.
“Assalamua’laikum” sapaan
dari pintu kamarku menyadarkan ku dari lamunanku.
“Wa’alaikum salam. Oh ukhti.
Masuk aja ukhti.”
“bagaimana khabarnya ukh?”
“Ya, beginilah ukh.”
“Udah makan ukhti? Ini anna
bawakan sedikit makanan, semoga bisa bermanfaat bagi ukhti.”
“Aduh repot-repot Ukhti, syukran.”
“Nggak kok Ukh. Oh ya, tadi
kita juga nggak jadi ujian tengah semester, karena dosennya juga lagi ke Bandung, dan Alhamdulillah
ukhti bisa ikut ujian bersama teman-teman yang lain minggu depan.”
“Alhamdulillah. Syukran Ukh
atas informasinya.”
“Afwan Ukhti. Udah menjelang
maghrib juga nih, anna pulang dulu ya.”
“A’fwan ya ukhti, udah
ngerepotin.’
“biasa saja Ukh, udah
kewajiban untuk saling memberikan informasi.. assalamu’alaikm Ukhti.”
“Wa’alaikum salam.”
Aku emang seorang manusia
bertopeng yang tiba-tiba bisa terlihat seperti seorang akhwat, dan kadang juga
bisa berprilaku diluar batas kemanusiaan. Kadang aku juga berfikir, siapa aku
sebenarnya? Apakah aku masih pantas disebut seorang mansia? Dimana letak
kemanusiaan aku? Sedangkan aku sendiri tidak percaya akan kekuasaan penciptaku.
Tiga hal luar biasa yang
kutemui, tetapi tetap saja aku merasa belum yakin dengan kebesaran-Nya. Aku
masih saja tetap pada pendirianku, meski udah sedikit goyah. namun bisikan
syetan yang entah darimana datangnya, kembali membuatku menguatkan keyakinanku
bahwa Tuhan itu nggak adil. Tuhan itu nggak peduli ama aku. Padahal aku udah
berusaha untuk dengannya. Tapi Dia malah membiarkanku terlantar begini.
Ya, menyadarkan makhluk
seperti aku, emang butuh kesabaran ekstra dan tekad yang bulat.
*
* *
Siang ini saat menunggu
kedatangan dosen, masuk seorang pengemis tua ke kelas kuliahku. Aku nggak
begitu peduli. Aku tetap berkutat dengan novel yang lagi ku tekuni. Saat
pengemis itu lagi menerima pemberian dari teman yang berada didepanku, aku mencoba
menatap pengemis itu.
Pengemis tua dengan baju
yang kumal, tidak terurus, jalannya juga udah nggak tegak lagi. Tetapi udah
malai membungkuk dan sebelah kakinya berjalan seolah ditarik. Tiba-tiba saja
aku didera kerinduan kepada sang ayah di kampung yang udah beberapa bulan ini
nggak ada kujenguk. Menelfonnya pun jarang. Aku hanya menelfonnya jika ada
keperluan.
Durhaka. Memang kata yang
pantas untukku. Orang tuaku, entah bagaimana keadaannya, bagaimana kesusahannya
untuk membiayai kuliahku yang semakin bertambah besar biayanya nggak pernah ku
tahu. Tapi siang ini, aku ingin menangis, aku ingin memeluk ayah. Aku rindu
ayah.
Awalnya aku berniat menelfon
ayah untuk meminta kiriman karena uangku udah habis. Bayangkan aja, uang di
dompetku tinggal lima
ribu rupiah. Aku belum makan dari pagi. Apa yang bisa ku beli dengan uang
segitu. Makanya aku mau meminta kiriman lage ama ayah.
Namun pengemis ini menyentuh
hatiku. Membuatku menyadari betapa susahnya ayah bekerja banting tulang demi
aku. Demi anak yang disayangnya, demi anak yang nggak peduli ama dia.
Ayah…maafkan aku. Aku udah
durhaka kepadamu. Aku nggak pernah memikirkanmu. Yang kutahu selama ini hanya
minta uang, minta dan minta. Aku nggak pernah ngerasain kesulitanmu, bahkan
tidak pernah mau tahu.
Untuk pertama kalinya aku
bersyukur kepada Allah telah mempertemukan aku dengan pengemis ini. Aku
merasakan semua emang udah diatur-NYa. Hidayah yang diberikan-Nya baru pertama
kali ku syukuri.
Ternyata hidayah yang
kuterima hari ini nggakcuma itu. Allah membukakan pintu hatiku lewat berbagai
situasi. Seperti yang kualami siang ini.
Uang ku yang tinggal lima ribu, kuputuskan buat
nggak makan aja siang ini. Dan habis shalat aku langsung pergi rapat, karma
hari ini aku ada rapat dengan mahasiswa administrasi pendidikan seangkatanku.
Namun rapat juga nggak
sepenuhnya kuikuti, karena aku lebih tertarik dengan novelku dibandingkan mendengarkan Iwan ketua
tingkatku berceloteh. Ya kusebut aja berceloteh, karena aku nggak mengerti
dengan pembahasannya. Hingga usai rapat pun aku tetap berkutat dengan novelku,
meski teman-teman udah pada pergi dan aku sendirian diruangan itu.
Tetapku bertahan diruangan
tersebut hingga kutuntaskan membaca novel itu. Karena aku nggak mau
terus-terusan dihinggapi rasa penasaran. Akhirnya aku berhasil menyelesaikan
membaca novel itu sebelum waktu ashar. Lalu aku bersegerah turun ke lantai
dasar dan berencana pulang.
Melewati mading, mataku
tertarik untuk membaca sebuah pengumuman yang baru ditempel beberapa saat
sebelum aku lewat. Karena sebelum pergi rapat, aku nggak ada ngeliat pengumuman
itu sebelumnya.
“Assalamu’alaikum dek.”
Sebuah salam membuyarkan kesendirianku.
“Wa’alaikum salam kak.”
Salah seorang seniorku yang aktis di forum studi islam yang biasa kami kenal
dengan sebutan FORSIS.
“Lage baca apa dek?”
tanyanya berbasa-basi.
“Ini kak, lagi baca-baca
pengumuman aja.”
“Oh ya dek, kok nggak ada
lagi hadir di acara FORSIS? Padahal kakak mengharapkan kedatangannya lho.”
“A’fwan kak, kemaren nih lagi ada sedikit kesibukan.”
Kataku beralasan, padahal sebenarnya aku malas untul ikut acara begituan. Aku
udah cukup bosan dengan pengajian rutinku, apa lage kalo dengan kegiatan FORSIS, betapa nggak asyiknya
hidupku.
“Sore ini kita ada tarbiru
pukul 16.00, ikut yuk.” Lagi-lagi ajakan itu. Mau nolak, aku nggak ada alasan
lagi mengelak buat nggak ikut, dan mau ikut, aku juga bosan. Akhirnya aku
putuskan juga buat ikut.
“iya deh kak.”
“Alhamdulillah. Shalat dulu
yuk, siap itu kita langsung tarbiru aja lagi.” Acara Ta’lim biasa disebut
tarbiru dalam FORSIS.
*
* *
Dengan setengah hati kuikuti
acara tarbiru ini. Ternyata acara ini asyik, menambah wawasan dan yang
terpenting, aku menemukan jawaban atas kegundahan aku selama ini.
Ditarbiru aku tahu kenapa
laki-laki itu memutuskan hubunganku dengannya, karena Allah nggak mau aku
terjatuh pada laki-laki preman yang pasti juga nggak kan membantuku untuk dekat dengan Allah. Dan
aku juga yakin Allah juga nyediakan yang jauh lebih baek dari padanya untukku.
Disitu juga aku mengerti, kalo semua yang terjadi di alam ini, termasuk
dihidupku, udah diatur oleh-Nya. Tempat yang awalnya kubilang tempatku
terdampar, sudah di atur oleh-Nya, karena aku bisa jadi lebih baek ditempat
itu.
Kebingungan buat makan malam
karena nggak ada uang, akhirnya terjawab saat aku di undang makan malam di
wisma, oleh senior yang kutemui sebelum acara terbiru tadi. Senior yang
mengajak aku ikut tarbiru.
Aku kembali menemukan
semangat keluarga baru di FORSIS ini. Aku benar-benar bersyukur udah ditemukan
dengan orang-orang seperti mereka. Dan dari sini juga aku mengerti bahwa Allah
nggak pernah nyia-nyiakan hambanya. Allah nggak membiarkan aku terpuruk dalam
kesendirian. Disaat aku kehilangan kasih sayang dari orang tua yang jauh dari
kampung, dan dari sahabat-sahabat SMA ku dulu, Allah menggantikannya dengan
keluarga baruku yang ada di FORSIS, yayasan dan teman-teman jurusan yang begitu
care ama aku. Malahan bersama mereka, aku jidi lebih baek dari sebelumnya.
Ya Allah, masih pantaskah
aku menyebut namamu. Aku terlalu angkuh untuk sebuah pengakuan. Ampunilah
hambamu ini ya Rabb. Aku bersujud kepadamu. Aku yakin, Engkau akan memberikan
yang terbaik untukku dan hidupku. Kuserahkan seluruh hidupku dihadapanmu.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar